Membentuk Image Diri

Membentuk Image Diri

Sumber: Pixabay.com

Menjadi ASN terkadang artinya bersedia menjadi apa saja dan bekerja di mana saja. Jangan salah. Menjadi apa saja maksudnya adalah menjadi pegawai biasa, pejabat fungsional baik di tempat yang benar maupun tidak — akibat kekurangan personil, atau dipromosikan sebagai pejabat struktural. Saya pernah mengalami semuanya. Namun, apapun ceritanya tetap bisa menjadi pelajaran untuk menapaki hidup selanjutnya.

Sebuah Situasi Unik

Kali ini, saya ingin merefleksikan satu proses dalam perjalanan hidup saya. Ada satu tujuan dalam mengisahkan bagian ini. Yaitu, untuk menyemangati para pembaca, supaya jangan merasa rendah diri apa pun perkataan orang lain tentang kondisi Kita. Termasuk jangan merendahkan diri kita sendiri dengan mengerjakan semua tugas bukan dalam performa terbaik Kita.

Ada satu kalimat pemicu yang sampai sekarang pun masih selalu terngiang di telinga. Yaitu perkataan seorang dokter di kantor tempat saya bekerja pertama kali. Bukan dokter senior dan saya pun memandangnya biasa saja, sebagai dokter kebanyakan dengan ambisi hampir sama seperti yang lainnya. Jadi, saya sungguh tidak paham, apa maksud dan tujuannya mengatakan ini:

“kamu tidak pantas jadi pejabat,” katanya waktu itu, saat saya dan dia sedang bersama-sama bertugas mengunjungi sebuah rumah sakit untuk sebuah kasus.

Baca juga: http://bundaalifadha.com/kita-bisa-menjadi-apa-saja/

Saya tidak sakit hati mendengarnya, karena menganggap dia tidak serius. Kalaupun serius, apa pentingnya buat saya? Saya terbiasa percaya pada kemampuan diri sendiri untuk berusaha mencapai apa pun. Jadi, tidak penting pendapat orang. Jika saya ingin mencapainya, saya tahu akan berupaya sebaik kemampuan untuk mewujudkannya. Jadi, yah saya dengan santai menanyakan alasannya, “memang kenapa saya tidak pantas, Dok?”

“sebab kamu cadel.” Dia hanya menjawab singkat.

Ya, ampun. Sungguh saya ingin tertawa mendengarnya. Alangkah naifnya jika tidak memilih orang lain sebagai pejabat, hanya karena alasan sepele seperti itu. Apalagi, jika sebenarnya cadelnya seseorang karena ia menguasai beberapa bahasa — ini bukan saya juga, sih. Tetapi intinya, alasan dia mengatakan bahwa saya tidak pantas menjadi pejabat hanya karena logat bicara, bukan Intelektual, pengalaman atau keahlian. Jadi, ya, saya yakin, suatu hari akan bisa menunjukkan padanya, kalau dia salah.

Dipromosikan sebagai Seorang Pejabat Struktural

Meskipun saya sedikit terganggu dengan kata-kata dokter di atas, saya tetap tidak “kasak kusuk” mengajukan diri sebagai pejabat struktural, sebab memang bukan jalur yang ingin saya tempuh dan jalani. Sudah jadi rahasia umum, bahwa butuh banyak pengeluaran tak terduga untuk bisa dipromosikan sebagai Seorang Pejabat struktural. Jadi, walaupun ingin membuktikan bahwa dokter itu salah, saya tak pernah ingin mengusahakan pembuktiannya. Tetapi, ternyata rencana Allah yang berbicara lain.

Waktu itu, saya sedang dalam proses pengajuan untuk pengangkatan pertama sebagai pejabat fungsional epidemiologi. Yup, setelah sepuluh tahun bertugas, saya baru punya kesempatan mengajukan diri. Itu pun melalui proses yang lumayan panjang. Jadi, sungguh tidak pernah menyangka akan mendapat undangan pelantikan sebagai struktural. Tetapi hikmahnya, pengangkatan tersebut murni karena prestasi. Bukan karena permintaan dari saya pribadi, atau penawaran dengan imbalan jasa tertentu.

Begitulah. Saat itu saya harus mempertimbangkan, apakah melanjutkan proses pengajuan menjadi pejabat fungsional epidemiologi atau menerima promosi sebagai kepala Sub Bagian Tata Usaha di salah satu Puskesmas dengan tempat perawatan yang lumayan besar.

Akhirnya, dengan berbagai pertimbangan — pun setelah berkonsultasi dengan sahabat di bagian kepegawaian, akhirnya saya setuju mengamankan SK pengangkatan sebagai pejabat struktural.

Membentuk Image Diri

Ada satu alasan mendasar yang membuat saya tak ingin menjadi pejabat struktural, yaitu ketidaknyamanan saya untuk selalu jaim dalam berbagai situasi. Alasan sama yang membuat saya tidak memilih menjadi dosen. Sebab, saya hanya nyaman berkomunikasi secara nonformal, santai walaupun isi pembicaraannya sejuta rius.

Jadi, ketika dipromosikan sebagai Seorang kepala Sub Bag. Tata Usaha Puskesmas, saya berpikir harus menjalani sesuatu yang “bukan gue banget”. Sehingga daripada terpaksa menjalani, saya pilih menampilkan image diri seperti apa adanya yang saya suka.

Begitulah. Sepanjang karir singkat sebagai seorang Ka. Sub Bag. TU — saya mengundurkan diri di tahun ketiga penugasan — saya hanya bersikap seperti air. Air yang selalu menyesuaikan diri dengan wadah yang ditempatinya. Saya hanya ingin orang di sekeliling menganggap saya sebagai teman, sahabat, mentor atau apapun sebutannya, asal jangan seorang atasan. Sehingga selama dua tahun itu, memang hampir tak ada yang merasa saya sebagai atasan, melainkan seorang sahabat yang bersedia membantu dan mendukung siapa pun juga. Itulah image yang sedang saya bangun sebagai lambang diri.

Tags: ,

Subscribe

Thanks for read our article for update information please subscriber our newslatter below

No Responses

Leave a Reply